KOPRI
Adalah Feminis Versi Aswaja
Oleh:
Retma Ayu Ningtyas
Sebelum
memulai lebih jauh, izinkan saya untuk mengulas sedikit cerita bahwa menjadi
seorang yang bergabung dalam organisasi adalah tindakan heroik. Kenapa? Karena
ia rela mengabdikan diri ke dalam suatu hal yang (mungkin) saja tidak
menjanjikan masa depan apapun, rela (mungkin) meninggalkan hedonitas dan dunia
materialistic demi mencari seonggok ilmu yang tidak bisa didapatkan di bangku
perkuliahan. Dan dia yang memilih PMII (di dalamnya ada KOPRI) sebagai jalan ninjanya, adalah sebenar-benarnya santri
yang insyaallah mendapat keberkahan dari kyai-kyai Pendiri NU.
Sejarah Singkat Kopri
Sejarah
KOPRI bermula dari dorongan banyak hal. KOPRI resmi didirikan pada tanggal 25
November 1967 di Semarang dengan tujuan agar menjadi wadah gerakan perempuan
yang sebelumnya hanya sempat difungsikan sebagai formalitas semata (inipun
tidak lepas dari gerakan sosial politik tahun-tahun sebelumnya). Yang mana di
tahun 1967 ini KOPRI adalah produk dari follow
up dari Training Kursus Keputrian di Jakarta yaitu pada tanggal 16 Februari
1966. Sebelumnya antara tahun 1960-1966 dibentuknya Divisi Keputrian yang
banyak memfokuskan perhatian pada jahit-menjahit, memasak, dan masalah dapur (urusan
domestik).
Setelah
dibentuk tahun 1967, pergerakan KOPRI tidak begitu masif dikarenakan
pemerintahan yang dipimpin Suharto yang cukup ketat mengawasi gerakan
organisasi masyarakat. Namun, KOPRI tidak kehilangan ruhnya sebagai bagian dari
ormas yang bergerak di bidang sosial. KOPRI kerap kali bergabung dengan para
santri untuk mengajar ngaji. Kemudian, di tahun 1988 dibuatnya Kurikulum dan
Pelaksanaan LKK (Latihan Kader Kopri) dan LPKK (Latihan Pelatih Kader Kopri)
oleh sahabati Khofifah Indar Parawansa yang follow
up nya dilaksanakan di tanggal 28 Oktober 1991. Kemudian, disusul oleh buku
yang dikeluarkan oleh KOPRI sebagai bukti bahwa wacana-wacana gerakan perubahan
yang dijunjung oleh KOPRI bukan hanya sekedar obrolan tak berarti, antaranya
tahun 1997-2000 yaitu “Buku Perempuan di Garis Depan” dan “Buku KOPRI Menentang
Perubahan”. Namun, yang menjadi permasalahan adalah KOPRI belum tertib secara
administrasi sehingga tidak banyak hard file
yang diketemukan dan disimpan sebagai inventaris dari kepengurusan sebelumnya.
Ihwal
pembubaran KOPRI pada Kongres XIII PMII di Medan, memang bukan tanpa alasan.
KOPRI dipandang sebagai gerakan yang tidak siap terhadap dinamika sosial di
tingkat nasional ataupun internasional. KOPRI yang secara gerakan masih seperti
meraba-raba kemudian tidak siap dengan membludaknya kader putri di tiap level
kepengurusan, serta tidak terakomodir dengan baik. Akhirnya, proses
kaderisasinya terkesan berantakan dan tidak menghasilkan output yang jelas
sehingga menyebabkan gerakan KOPRI dianggap sebagai hal yang sia-sia dan kemudian
dibubarkan. Baru, di tahun 2003 tepatnya pada tanggal 26-29 September dibentuk
kembali KOPRI. PMII telah berusaha untuk memaksimalkan potensi kader perempuan
agar bisa bersaing secara berani dan mandiri, namun hal ini belum didukung oleh
gerakan di tingkat daerah yang masih secara bias menafsirkan pengertian Gender
pun posisi KOPRI juga masih dalam tahap ‘hidup segan mati tak mau’.
Pasang Surut KOPRI
KOPRI
bukan satu satunya organisasi yang mengalami pasang surut. Mari, mundur
beberapa puluh tahun ke belakang. Peristiwa ini hampir sama dengan bergeraknya
PNI (Partai Nasional Indonesia) yang awalnya dipegang oleh Soekarno lebih
mengedepankan Kuantitas basis masa, dibandingkan dengan pendidikan kader. Hal
ini dibantah oleh Bung Hatta yang mengubah haluan PNI dari partai berbasis
kader menjadi Pendidikan Nasional Indonesia yang lebih mengedepankan pendidikan
lebih dulu. Walau, ‘pendidikan’ dianggap sebagai kultur Belanda yaitu politik
etis, Hatta tidak mempersoalkan hal tersebut. Selama memberikan hal yang baik
untuk generasi selanjutnya, menurut Hatta kultur tersebut perlu dilestarikan.
Hatta
berpendapat, sia-sia saja mengkader begitu banyak masa namun massa tersebut
tidak mengetahui esensi dari dibentuknya sebuah organisasi. Pun, melawan
penjajah pada zaman dahulu jika hanya mengandalkan agitasi dan pemberontakan
saja, akan sia-sia karena sudah kalah dahulu secara perlengkapan senjata. Bagaimanapun,
Hatta lebih menganggap bahwa doktrin
Pendidikan dalam sebuah organisasi adalah bentuk perjuangan yang berbeda
maknanya dengan Pemberontakan.
Pemberontakan
merupakan pergerakan fisik yang ditimbulkan oleh sakit dan derita
berkepanjangan, spontan dan tidak terarah. Sedangkan, perjuangan diawali dengan
sebuah pendidikan dan melahirkan pembelajaran kemudian diasah oleh waktu, yang
secara kontinu melahirkan sebuah keberanian. KOPRI berada pada masa dimana,
secara struktur organisasi belum tertata rapih namun lebih mengedepankan basis massa,
sebelum dibubarkan. Setelah kembali menapaki jalan lurusnya, KOPRI menyadari
bahwa perjuangan yang dimaksudkan oleh Bung Hatta tidak akan pernah selesai. Beberapa
kali ditegaskan oleh para senior-senior KOPRI, bahwa selama penindasan terhadap
perempuan itu ada, selama itu pula KOPRI ada.
Dalam
sejarahnya, KOPRI yang diistilahkan ‘hidup segan mati tak mau’terlihat seperti
guyonan. Hal ini, kemudian timbul ketidakjelasan gerakan KOPRI akan dibawa
kemana, pun kemudian memunculkan ketidakseriusan KOPRI menggarap kader-kader
putri di bawah. Beberapa tahun setelah KOPRI dibentuk kembali di tahun 2003,
baru di tahun 2011 KOPRI secara perdana melakukan kegiatan SIG, SKK di beberapa
daerah dan di tahun 2016 pula modul SIG itu dibuat oleh PB KOPRI sebagai
tindakan serius untuk mempersiapkan pola kaderisasi agar satu framing antaranya PB, PKC, PC,
Komisariat hingga Rayon.
Gender dan Teori Konflik Feminisme
Ada
sesuatu yang tidak bisa dilewatkan begitu saja ketika membahas KOPRI yaitu
pengertian Gender. Mungkin telinga kita tidak asing mendengar istilah gender
(bahkanpun di beberapa kepengurusan rayon, divisi/biro gender masih menjadi
divisi/biro yang sejatinya adalah anak kandung dari KOPRI). Menurut, Mansour
Faqih dalam bukunya Analisis Gender dan
Transformasi Sosial, Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan yang dapat dipertukarkan, berbeda dengan sex yang sifatnya kodrati,
mutlak dan tidak dapat dipertukarkan. Sejarah gender adalah sejarah yang
panjang dan secara tidak langsung mendoktrin setiap keturunan untuk meyakini
bahwa gender sifatnya kodrati, padahal tidak.
Tentunya
pengertian gender, baru eksis dan dibicarakan akhir-akhir ini. Walaupun sejak akhir
abad ke-18 telah ada tokoh yang menyuarakan ketidakadilan gender, beliau adalah
Mary Wollstonecraft dengan tulisannya yang
berjudul A Vindication of The Rights of Woman dianggap sebagai kritik
terhadap Revolusi Prancis yang hanya berlaku
untuk laki-laki namun tidak untuk perempuan. Kemudian, semakin berkembang di
akhir abad ke-20, munculah tokoh feminis Indonesia, Raden Ajeng Kartini.
Memahami
gender selama tidak menimbulkan ketidakadilan gender sebenarnya sah-sah saja,
namun hingga kini mempelajari genderpun masih menimbulkan paham yang berbeda.
Beberapa bentuk ketidakadilan gender yaitu: marginalisasi perempuan,
subordinasi, stereotype, violence/kekerasan, dan double burden/beban ganda. Munculnya
ketidakadilan ini karena bias memahami pengertian gender itu sendiri.
Beberapa ideologi feminism dunia yang juga dianut oleh
Negara-negara bersangkutan muncul sebagai literasi utama dan pondasi utama
feminism berkembang. Negara-negara yang kuat muncul sebagai poros utama
munculnya ideologi feminism yang dimaksud. Teori konflik ini dipandang sebagai
kekuatan yang menempatkan dua actor utama, laki dan perempuan menurut porsinya
masing-masing pun setiap teori konflik memiliki latar belakangnya ideologi
sosial, politik, dan ekonominya masing-masing.
Feminis
radikal muncul sebagai bentuk perlawanan, karena di tahun 60-an marak terjadi
kasus pemerkosaan, kekerasan sosial dan pornografi. Feminis radikal melihat
patriarkhi dan jenis kelamin laki-laki sebagai tersangka atas terjadinya
berbagai kejahatan atas nama perempuan. Dia tidak melihat apakah ada faktor-faktor
eksternal lain. Jadi, penguasaan secara fisik perempuan oleh laki-laki adalah
sumber permasalahan utama dan tidak bisa diganggu gugat. Jika laki-laki bisa
poligami, maka perempuan bisa poliandri. Salah satu tokohnya adalah Firestone.
Feminis
marxis muncul sebagai antithesis dari gerakan feminis radikal. Penindasan yang
dimaksud oleh feminis marxis adalah penindasan terhadap kelas yang tidak ramah
terhadap perempuan dalam hubungan produksi. Hubungan suami istri diasumsikan
sebagai hub. Borjuis dan proletar dan tingkat kemajuan suatu Negara bisa
dilihat dari kemajuan perempuannya. Tokoh teori ini adalah Karl Marx dan Engels.
Feminis
Sosialis lahir tahun 1970 an. Banyak yang menganggap feminis sosialis lahir
dari pengembangan teoris feminis marxis. Namun, yang menjadi focus gerakan ini,
kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi dalam lini
manapun, tidak hanya dalam ekonomi saja, atau dalam struktur sosial saja.
Keterlibatan perempuan dalam hierarki sosial, bisa jadi menjerumuskan perempuan
karena tingkat partisipasinya masih rendah dan kalah dengan kekuatan dominan
dari laki-laki.
Feminis
liberal adalah gerakan feminis yang menuntut persamaan hak antara kaum
perempuan dan kaum laki-laki. Keduanya sama-sama dipandang kuat dan
berkompetisi dengan cara yang sah dan
benar.
KOPRI adalah Feminis Versi Aswaja
Menyikapi
berbagai ideologi feminism yang berkembang di dunia (ketiga) ini, tak serta
merta membuat KOPRI mengikuti arusnya. KOPRI memiliki arah geraknya sendiri.
Masih banyak diantara kita menganggap feminism adalah gerakan yang berasal dari
Barat sehingga lekat dengan kultur-kultur yang tidak sesuai dengan sifat asli
Indonesia, yang kemudian menimbulkan sikap anti-kebarat baratan.
Feminisme
Aswaja bertugas untuk mengidentifikasi penyesuaian-penyesuaian antara pandangan
feminism dengan pandangan keagamaan ahlusunah wal jamaah. KOPRI memilih jalan
tengah, yaitu tahu bagaimana konsep memperjuangkan kesetaraan perempuan yang
adil di tengah sehingga tidak terlalu kolot dengan pemikiran tekstual dan tidak
terlalu liberal memahami kesetaraan perempuan sehingga menyalahi pedoman
interpretasi islam. Sesuatu yang sifatnya teologis memang Mutlak, namun ketika
diturunkan pada hambanya kemudian muncul suatu pembenaran-pembenaran.
Dalam
sejarah, feminism dalam islam itu telah ada. Terbukti, dengan adanya
gerakan-gerakan pembebasan islam yang dilakukan dan diabadikan dalam al-qur’an.
Tafsir ayat-ayat dalam Al-qur’an perspektif gender dimaknai dalam tiga tahap
pembebasan.
1. Pembebasan
secara total
Surat
Al-isra’ ayat 31 yang menyatakan bahwa pembunuhan terhadap bayi perempuan
sangat dilarang. Allah SWT juga melarang praktik ini yang dulunya pernah
dilakukan oleh kaum quraish. Menurut Islam, kedudukan laki dan perempuan itu
sama. Bisa disimpullkan bahwa arah gerakan feminis adalah gerakan kemanusiaan.
2. Pembebasan
secara bertahap
Ada
beberapa contoh pembebasan bertahap yang dianggap memberikan keuntungan
terhadap perempuan. Yang pertama adalah perbudakan. Pembebasan budak adalah
wajib dilaksanakan dalam islam, utamanya untuk budak perempuan. Dan juga
dilegalkan dalam bentuk pernikahan, dalam Al-Qur’an disebutkan lebih baik
menikahi budak perempaun daripada perempuan merdeka tapi musyrik. Yang kedua,
terkait dengan ahli waris. Dulu, masa pra islam, perempuan dijadikan objek
warisan, kemudian di masa pencerahan datang, perempuan dijadikan subjek
penerima warisan dengan proporsi 2:1.
3. Pembebasan
terus menerus
Tugas
terpenting KOPRI saat ini adalah bagaimana merefleksikan berbagai masalah yang
timbul sejak masa pra islam hingga saat ini dengan tetap berpedoman pada
ASWAJA. Ideologi gerakan feminis aswaja adalah sesuai dengan tujuan tauhid yang
menjamin keadilan bagi orang-orang tertindas, perempuan dan memperjuangkan
kesetaraan. Dan focus feminis aswaja tidak hanya pada perempuan sebagai objek,
tapi focus pada perempuan sebagai subjek, sistem dan struktur.