Sunday, December 29, 2019

KOPRI ADALAH FEMINIS VERSI ASWAJA


KOPRI Adalah Feminis Versi Aswaja 


Oleh:  Retma Ayu Ningtyas

Sebelum memulai lebih jauh, izinkan saya untuk mengulas sedikit cerita bahwa menjadi seorang yang bergabung dalam organisasi adalah tindakan heroik. Kenapa? Karena ia rela mengabdikan diri ke dalam suatu hal yang (mungkin) saja tidak menjanjikan masa depan apapun, rela (mungkin) meninggalkan hedonitas dan dunia materialistic demi mencari seonggok ilmu yang tidak bisa didapatkan di bangku perkuliahan. Dan dia yang memilih PMII (di dalamnya ada KOPRI) sebagai jalan ninjanya, adalah sebenar-benarnya santri yang insyaallah mendapat keberkahan dari kyai-kyai Pendiri NU. 

Sejarah Singkat Kopri 

Sejarah KOPRI bermula dari dorongan banyak hal. KOPRI resmi didirikan pada tanggal 25 November 1967 di Semarang dengan tujuan agar menjadi wadah gerakan perempuan yang sebelumnya hanya sempat difungsikan sebagai formalitas semata (inipun tidak lepas dari gerakan sosial politik tahun-tahun sebelumnya). Yang mana di tahun 1967 ini KOPRI adalah produk dari follow up dari Training Kursus Keputrian di Jakarta yaitu pada tanggal 16 Februari 1966. Sebelumnya antara tahun 1960-1966 dibentuknya Divisi Keputrian yang banyak memfokuskan perhatian pada jahit-menjahit, memasak, dan masalah dapur (urusan domestik). 

Setelah dibentuk tahun 1967, pergerakan KOPRI tidak begitu masif dikarenakan pemerintahan yang dipimpin Suharto yang cukup ketat mengawasi gerakan organisasi masyarakat. Namun, KOPRI tidak kehilangan ruhnya sebagai bagian dari ormas yang bergerak di bidang sosial. KOPRI kerap kali bergabung dengan para santri untuk mengajar ngaji. Kemudian, di tahun 1988 dibuatnya Kurikulum dan Pelaksanaan LKK (Latihan Kader Kopri) dan LPKK (Latihan Pelatih Kader Kopri) oleh sahabati Khofifah Indar Parawansa yang follow up nya dilaksanakan di tanggal 28 Oktober 1991. Kemudian, disusul oleh buku yang dikeluarkan oleh KOPRI sebagai bukti bahwa wacana-wacana gerakan perubahan yang dijunjung oleh KOPRI bukan hanya sekedar obrolan tak berarti, antaranya tahun 1997-2000 yaitu “Buku Perempuan di Garis Depan” dan “Buku KOPRI Menentang Perubahan”. Namun, yang menjadi permasalahan adalah KOPRI belum tertib secara administrasi sehingga tidak banyak hard file yang diketemukan dan disimpan sebagai inventaris dari kepengurusan sebelumnya. 

Ihwal pembubaran KOPRI pada Kongres XIII PMII di Medan, memang bukan tanpa alasan. KOPRI dipandang sebagai gerakan yang tidak siap terhadap dinamika sosial di tingkat nasional ataupun internasional. KOPRI yang secara gerakan masih seperti meraba-raba kemudian tidak siap dengan membludaknya kader putri di tiap level kepengurusan, serta tidak terakomodir dengan baik. Akhirnya, proses kaderisasinya terkesan berantakan dan tidak menghasilkan output yang jelas sehingga menyebabkan gerakan KOPRI dianggap sebagai hal yang sia-sia dan kemudian dibubarkan. Baru, di tahun 2003 tepatnya pada tanggal 26-29 September dibentuk kembali KOPRI. PMII telah berusaha untuk memaksimalkan potensi kader perempuan agar bisa bersaing secara berani dan mandiri, namun hal ini belum didukung oleh gerakan di tingkat daerah yang masih secara bias menafsirkan pengertian Gender pun posisi KOPRI juga masih dalam tahap ‘hidup segan mati tak mau’.

Pasang Surut KOPRI 

KOPRI bukan satu satunya organisasi yang mengalami pasang surut. Mari, mundur beberapa puluh tahun ke belakang. Peristiwa ini hampir sama dengan bergeraknya PNI (Partai Nasional Indonesia) yang awalnya dipegang oleh Soekarno lebih mengedepankan Kuantitas basis masa, dibandingkan dengan pendidikan kader. Hal ini dibantah oleh Bung Hatta yang mengubah haluan PNI dari partai berbasis kader menjadi Pendidikan Nasional Indonesia yang lebih mengedepankan pendidikan lebih dulu. Walau, ‘pendidikan’ dianggap sebagai kultur Belanda yaitu politik etis, Hatta tidak mempersoalkan hal tersebut. Selama memberikan hal yang baik untuk generasi selanjutnya, menurut Hatta kultur tersebut perlu dilestarikan.

Hatta berpendapat, sia-sia saja mengkader begitu banyak masa namun massa tersebut tidak mengetahui esensi dari dibentuknya sebuah organisasi. Pun, melawan penjajah pada zaman dahulu jika hanya mengandalkan agitasi dan pemberontakan saja, akan sia-sia karena sudah kalah dahulu secara perlengkapan senjata. Bagaimanapun, Hatta lebih  menganggap bahwa doktrin Pendidikan dalam sebuah organisasi adalah bentuk perjuangan yang berbeda maknanya dengan Pemberontakan. 

Pemberontakan merupakan pergerakan fisik yang ditimbulkan oleh sakit dan derita berkepanjangan, spontan dan tidak terarah. Sedangkan, perjuangan diawali dengan sebuah pendidikan dan melahirkan pembelajaran kemudian diasah oleh waktu, yang secara kontinu melahirkan sebuah keberanian. KOPRI berada pada masa dimana, secara struktur organisasi belum tertata rapih namun lebih mengedepankan basis massa, sebelum dibubarkan. Setelah kembali menapaki jalan lurusnya, KOPRI menyadari bahwa perjuangan yang dimaksudkan oleh Bung Hatta tidak akan pernah selesai. Beberapa kali ditegaskan oleh para senior-senior KOPRI, bahwa selama penindasan terhadap perempuan itu ada, selama itu pula KOPRI ada. 

Dalam sejarahnya, KOPRI yang diistilahkan ‘hidup segan mati tak mau’terlihat seperti guyonan. Hal ini, kemudian timbul ketidakjelasan gerakan KOPRI akan dibawa kemana, pun kemudian memunculkan ketidakseriusan KOPRI menggarap kader-kader putri di bawah. Beberapa tahun setelah KOPRI dibentuk kembali di tahun 2003, baru di tahun 2011 KOPRI secara perdana melakukan kegiatan SIG, SKK di beberapa daerah dan di tahun 2016 pula modul SIG itu dibuat oleh PB KOPRI sebagai tindakan serius untuk mempersiapkan pola kaderisasi agar satu framing antaranya PB, PKC, PC, Komisariat hingga Rayon. 

Gender dan Teori Konflik Feminisme 

            Ada sesuatu yang tidak bisa dilewatkan begitu saja ketika membahas KOPRI yaitu pengertian Gender. Mungkin telinga kita tidak asing mendengar istilah gender (bahkanpun di beberapa kepengurusan rayon, divisi/biro gender masih menjadi divisi/biro yang sejatinya adalah anak kandung dari KOPRI). Menurut, Mansour Faqih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dapat dipertukarkan, berbeda dengan sex yang sifatnya kodrati, mutlak dan tidak dapat dipertukarkan. Sejarah gender adalah sejarah yang panjang dan secara tidak langsung mendoktrin setiap keturunan untuk meyakini bahwa gender sifatnya kodrati, padahal tidak. 

Tentunya pengertian gender, baru eksis dan dibicarakan akhir-akhir ini. Walaupun sejak akhir abad ke-18 telah ada tokoh yang menyuarakan ketidakadilan gender, beliau adalah Mary Wollstonecraft dengan tulisannya yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman dianggap sebagai kritik terhadap Revolusi Prancis yang hanya berlaku untuk laki-laki namun tidak untuk perempuan. Kemudian, semakin berkembang di akhir abad ke-20, munculah tokoh feminis Indonesia, Raden Ajeng Kartini. 

Memahami gender selama tidak menimbulkan ketidakadilan gender sebenarnya sah-sah saja, namun hingga kini mempelajari genderpun masih menimbulkan paham yang berbeda. Beberapa bentuk ketidakadilan gender yaitu: marginalisasi perempuan, subordinasi, stereotype, violence/kekerasan, dan double burden/beban ganda. Munculnya ketidakadilan ini karena bias memahami pengertian gender itu sendiri. 

            Beberapa ideologi feminism dunia yang juga dianut oleh Negara-negara bersangkutan muncul sebagai literasi utama dan pondasi utama feminism berkembang. Negara-negara yang kuat muncul sebagai poros utama munculnya ideologi feminism yang dimaksud. Teori konflik ini dipandang sebagai kekuatan yang menempatkan dua actor utama, laki dan perempuan menurut porsinya masing-masing pun setiap teori konflik memiliki latar belakangnya ideologi sosial, politik, dan ekonominya masing-masing. 

Feminis radikal muncul sebagai bentuk perlawanan, karena di tahun 60-an marak terjadi kasus pemerkosaan, kekerasan sosial dan pornografi. Feminis radikal melihat patriarkhi dan jenis kelamin laki-laki sebagai tersangka atas terjadinya berbagai kejahatan atas nama perempuan. Dia tidak melihat apakah ada faktor-faktor eksternal lain. Jadi, penguasaan secara fisik perempuan oleh laki-laki adalah sumber permasalahan utama dan tidak bisa diganggu gugat. Jika laki-laki bisa poligami, maka perempuan bisa poliandri. Salah satu tokohnya adalah Firestone. 

Feminis marxis muncul sebagai antithesis dari gerakan feminis radikal. Penindasan yang dimaksud oleh feminis marxis adalah penindasan terhadap kelas yang tidak ramah terhadap perempuan dalam hubungan produksi. Hubungan suami istri diasumsikan sebagai hub. Borjuis dan proletar dan tingkat kemajuan suatu Negara bisa dilihat dari kemajuan perempuannya. Tokoh teori ini adalah Karl Marx dan Engels.

Feminis Sosialis lahir tahun 1970 an. Banyak yang menganggap feminis sosialis lahir dari pengembangan teoris feminis marxis. Namun, yang menjadi focus gerakan ini, kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi dalam lini manapun, tidak hanya dalam ekonomi saja, atau dalam struktur sosial saja. Keterlibatan perempuan dalam hierarki sosial, bisa jadi menjerumuskan perempuan karena tingkat partisipasinya masih rendah dan kalah dengan kekuatan dominan dari laki-laki. 

Feminis liberal adalah gerakan feminis yang menuntut persamaan hak antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Keduanya sama-sama dipandang kuat dan berkompetisi dengan cara yang sah dan  benar. 

KOPRI adalah Feminis Versi Aswaja

Menyikapi berbagai ideologi feminism yang berkembang di dunia (ketiga) ini, tak serta merta membuat KOPRI mengikuti arusnya. KOPRI memiliki arah geraknya sendiri. Masih banyak diantara kita menganggap feminism adalah gerakan yang berasal dari Barat sehingga lekat dengan kultur-kultur yang tidak sesuai dengan sifat asli Indonesia, yang kemudian menimbulkan sikap anti-kebarat baratan. 

Feminisme Aswaja bertugas untuk mengidentifikasi penyesuaian-penyesuaian antara pandangan feminism dengan pandangan keagamaan ahlusunah wal jamaah. KOPRI memilih jalan tengah, yaitu tahu bagaimana konsep memperjuangkan kesetaraan perempuan yang adil di tengah sehingga tidak terlalu kolot dengan pemikiran tekstual dan tidak terlalu liberal memahami kesetaraan perempuan sehingga menyalahi pedoman interpretasi islam. Sesuatu yang sifatnya teologis memang Mutlak, namun ketika diturunkan pada hambanya kemudian muncul suatu pembenaran-pembenaran. 

Dalam sejarah, feminism dalam islam itu telah ada. Terbukti, dengan adanya gerakan-gerakan pembebasan islam yang dilakukan dan diabadikan dalam al-qur’an. Tafsir ayat-ayat dalam Al-qur’an perspektif gender dimaknai dalam tiga tahap pembebasan. 

1.      Pembebasan secara total
Surat Al-isra’ ayat 31 yang menyatakan bahwa pembunuhan terhadap bayi perempuan sangat dilarang. Allah SWT juga melarang praktik ini yang dulunya pernah dilakukan oleh kaum quraish. Menurut Islam, kedudukan laki dan perempuan itu sama. Bisa disimpullkan bahwa arah gerakan feminis adalah gerakan kemanusiaan.
2.      Pembebasan secara bertahap
Ada beberapa contoh pembebasan bertahap yang dianggap memberikan keuntungan terhadap perempuan. Yang pertama adalah perbudakan. Pembebasan budak adalah wajib dilaksanakan dalam islam, utamanya untuk budak perempuan. Dan juga dilegalkan dalam bentuk pernikahan, dalam Al-Qur’an disebutkan lebih baik menikahi budak perempaun daripada perempuan merdeka tapi musyrik. Yang kedua, terkait dengan ahli waris. Dulu, masa pra islam, perempuan dijadikan objek warisan, kemudian di masa pencerahan datang, perempuan dijadikan subjek penerima warisan dengan proporsi 2:1.
3.      Pembebasan terus menerus
Tugas terpenting KOPRI saat ini adalah bagaimana merefleksikan berbagai masalah yang timbul sejak masa pra islam hingga saat ini dengan tetap berpedoman pada ASWAJA. Ideologi gerakan feminis aswaja adalah sesuai dengan tujuan tauhid yang menjamin keadilan bagi orang-orang tertindas, perempuan dan memperjuangkan kesetaraan. Dan focus feminis aswaja tidak hanya pada perempuan sebagai objek, tapi focus pada perempuan sebagai subjek, sistem dan struktur.

No comments:

Post a Comment